Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) - KIM CITRA TARUNA KENANGA

Breaking

KIM CITRA TARUNA KENANGA

Komunikatif, Informatif, Peduli Masyarakat

test banner

Post Top Ad

Responsive Ads Here

Post Top Ad

Responsive Ads Here

Monday, 9 February 2015

Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT)







Sebenarnya apa dan bagaimana PKDRT itu ?
 

Sebagaimana luas diketahui, Kerangka Aksi Deklarasi Beijing tahun 1995 memandatkan upaya yang sungguh-sungguh untuk melakukan penghapusan kekerasan terhadap perempuan bagi negara-negara yang terlibat dalam penandatanganan deklarasi. Pada kenyataannya, meski sudah melampaui waktu 12 (dua belas) tahun, kita masih melihat perkembangan yang kurang menggembirakan dalam upaya-upaya yang diharapkan ini. Bagi Indonesia, meski sudah memberlakukan UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT), masih terdapat banyak kelemahan yang harus terus dibenahi. Tidak saja menyangkut isi dari kebijakan ini, melainkan juga perangkat penegaknya masih dihadapkan pada berbagai kendala serius, misalnya, keengganan jaksa dan hakim untuk menggunakan UU PKDRT dalam menangani kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga dalam bentuk kekerasan fisik. Karena itu, masih sangat jauh dari harapan penggunaan UU ini untuk menyentuh pada kasus-kasus kekerasan psikis, seksual dan ekonomi sebagaimana dimandatkan oleh UU PKDRT. Dalam pengertian yang lain, masih cukup tajam gap antara UU PKDRT sebagai gagasan ideal dan perangkat implementasinya sehingga bisa menjadi operasional.



Persoalan lain yang harus mendapatkan perhatian publik, adalah upaya menjadikan isu kekerasan terhadap perempuan agar menjadi lebih inklusif. Dalam pengertian, melakukan berbagai aksi intelektual untuk membangun keyakinan, kekerasan terhadap perempuan tidak hanya mengakibatkan kesakitan dalam diri perempuan, melainkan juga melukai rasa keadilan dan kemanusiaan. Selain juga menjadi akar dari berbagai persoalan yang dihadapi perempuan dalam kehidupan sosialnya. Misalnya, sudah saatnya membangun sebuah kerangka teoritis dan praxis, bukan dipahami sebagai praktis, bagaimana kekerasan terhadap perempuan juga mengakibatkan dan merupakan konsekuensi dari pewabahan HIV/AIDS di kalangan perempuan dan anak perempuan. Belum lagi akibat lain yang ditimbulkan, seperti kemiskinan, keterbelakangan, dan ketiadaan ruang bagi perempuan dan anak perempuan untuk mengaktualisasikan diri. Kehendak UNIFEM untuk mengkaitkan antara kekerasan terhadap perempuan dengan penularan HIV/AIDS, merupakan langkah menarik untuk mendapatkan perhatian bagi para aktivis dalam kedua isu yang seringkali hanya berjalan bersejajaran, tanpa keterkaitan satu dengan yang lainnya.


Isu penindasan terhadap wanita terus menerus menjadi perbincangan hangat. Salah satunya adalah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Perjuangan penghapusan KDRT nyaring disuarakan organisasi, kelompok atau bahkan negara yang meratifikasi konvensi mengenai penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan (Convention on the Elimination of All Form of Discrimination/CEDAW) melalui Undang-undang No 7 tahun 1984. Juga berdasar Deklarasi Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan yang dilahirkan PBB tanggal 20 Desember 1993 dan telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia. Bahkan di Indonesia telah disahkan Undang-undang No 23 Tahun 2004 tentang ‘Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga’.


‘Perjuangan’ penghapusan KDRT berangkat dari fakta banyaknya kasus KDRT yang terjadi dengan korban mayoritas perempuan dan anak-anak. Hal ini berdasar sejumlah temuan Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) dari berbagai organisasi penyedia layanan korban kekerasan. Di Provinsi Banten misalnya, hingga pertengahan tahun 2004 terdapat 5.426 perempuan yang dilaporkan menjadi korban tindak kekerasan (KTK). 90 persen diantaranya menjadi korban kekerasan karena berkerja sebagai Tenaga Kerja Wanita (TKW) di luar negeri.


Dari semua kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan yang ditangani, lebih dari 70 % adalah kasus kekerasan dalam rumah tangga. Kekerasan dalam pengertian ini tidak hanya kekerasan fisik saja tetapi kekerasan psikis dan ekonomi/penelantaran rumah tangga. Dari kasus kasus kekerasan hanya 38 % yang diproses secara hukum serta dari 60 kasus pada tahun 2005 hanya 23 kasus yang diproses secara hukum


Dalam pengertian umum maupun khusus, gender berarti keadaan di mana individu yang lahir secara biologis, sebagai laki-laki dan wanita memperoleh pencirian sosial sebagai laki-laki dan wanita melalui maskulinitas dan femininitas yang sering didukung oleh nilai atau sistem simbol masyarakat bersangkutan. Jadi, perbedaan yang terjadi bukan semata-mata disebabkan karena perbedaan biologis. Dalam kondisi adanya perbedaan itu, terlebih lagi dalam struktur subordinasi, maka acapakali pihak yang tersubordinasi memperoleh perlakuan yang kurang yang tidak seimbang dan malahan bernilai kurang baik.


Alice Schlegel, menggunakan istilah gender meaning untuk menyebutkan ideologi gender dengan menyatakan “wanita dan laki-laki masing-masing dipersepsikan, dinilai, dan diharapkan untuk bertingkah laku”. Ia kemudian membedakan antara pengertian umum, yaitu wanita dan laki-laki didefinisikan dalam arti yang abstrak, berdasarkan ciri-ciri khusus yang diberikan kepada mereka atas dasar jenis kelamin. Undang-Undang PKDRT menyebutkan bahwa Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga (Pasal 1 ayat 1).


Pengertian KDRT dalam UU No 23 Tahun 2004 sangat luas dan terperinci. Bagaimana cara kekerasan itu dilakukan, jenis kekerasan dan akibat yang ditimbulkan. Disamping itu ukuran waktu dari dampak yang ditimbulkan akibat kekerasan juga dikategorikan untuk menentukan bobot pelanggaran/kejahatan. UU PKDRT ini merupakan terobosan hukum. Ada beberapa poin substantif dalam UU ini yang menunjukkan sebuah progresifitas hukum Indonesia yaitu dalam UU PKDRT ada semacam penegasan bahwa kekerasan dalam rumah tangga merupakan bentuk kejahatan terhadap hak asasi manusia. UU PKDRT juga mengakui adanya bentuk-bentuk kekerasan seperti fisik, psikis, seksual dan penelantaran ekonomi. Dalam UU PKDRT tersebut, tidak hanya negara yang mempunyai tanggungjawab menghapus kekerasan dalam rumah tangga, tetapi masyarakat juga berkewajiban untuk melindungi korban. Satu hal yang juga dianggap terobosan hukum adalah masalah pembuktian yang mendasarkan pada kesaksian korban serta adanya perintah perlindungan korban. meskipun UU PKDRT ini menjadi produk hukum yang menggembirakan, namun dalam pelaksanaanya akan menghadapi sejumlah tantangan khususnya dalam membangun pola kesadaran akan eksistensi masyarakat sebagai subyek hukum, karena sebagian besar masyarakat kita masih setia pada pola pikir yang konvensional. Pola pikir yang konvensional tersebut adalah cara berfikir yang melihat ranah rumah tangga sebagai wilayah otoritarian privat, sehingga hukum publik dianggap tidak bisa turut campur terhadap apapun yang terjadi di dalamnya. Selain pola kesadaran berfikir, hambatan lain yang akan dihadapi adalah kurangnya sosialisasi substansi UU PKDRT tersebut di kalangan para aparat penegak hukum. Sudah lazim dialami kesulitan-kesulitan dalam penggunaan suatu produk Undang-undang yang disebabkan ketidaktahuan aparat akan UU tersebut ditemukan kasus kekerasan terhadap istri masih termasuk kasus yang tertinggi. Ada 60% lebih kasus serupa yang masuk ke Institut Perempuan (IP). Hal itu sangat sesuai dengan lahirnya UU PKDRT yang mulai diberlakukan pemerintah sejak 22 September 2004. Dari semua kasus itu, umumnya lebih sebagai bentuk kekerasan psikologis suami terhadap istri. Seperti suami mempersulit permintaan cerai dari istri, sampai istri yang mengadvokasi suami ke kantor suami akibat semua gaji suaminya tidak lagi diberikan ke istrinya. Sebelum ada UU kita tidak bisa memproses kasus-kasus tersebut. Tetapi setelah ada UU PKDRT, kita akan dapat menyelesaikannya sampai ke tingkat pemberlakuan hukum. Karena UU PKDRT sudah mencakup kekerasan fisik, psikis, seksual, dan penelantaran rumah tangga.


Naiknya angka KDRT tersebut menurut penulis merupakan sebagai akibat adanya pemberlakuan dari UU PKDRT. Hal ini menimbulkan keyakinan pada para korban bahwa ada perangkat hukum yang melindungi, bahwa apa yang terjadi merupakan tindakan kriminal dan ada sanksi hukumnya. Komnas Perempuan menilai bahwa kecenderungan kekerasan yang dialami perempuan selama 2005 antara lain perempuan terjebak dalam lingkaran KDRT. Artinya, perempuan yang menjadi korban KDRT akan cenderung menjadi pelaku kekerasan terhadap anaknya sendiriSelain tingginya angka kekerasan terhadap perempuan, Komnas Perempuan juga mencatat sejumlah terobosan yang penting yang dicapai dalam kaitannya dengan upaya perlindungan perempuan yaitu disahkannya undang-undang penghapusan kekerasan terhadap perempuan (UU PKDRT) pada akhir 2004 lalu. Menurut Komnas Perempuan, pengesahan UU Penghapusan KDRT adalah terobosan yang paling penting bagi upaya perlindungan terhadap perempuan dari tindakan kekerasan yang memang ruang lingkupnya terbesar dalam rumah tangga. Selain pengesahan UU Penghapusan KDRT, terobosan lain yang dicatat oleh Komnas Perempuan adalah munculnya pemikiran progresif tentang perempuan dalam perkawinan melalui naskah tandingan Kompilasi Hukum Islam yang dilakukan oleh Tim pengarusutamaan gender departemen agama RI. Komnas Perempuan juga mencatat pada tahun 2004 telah terjadi pengorganisasian terhadap perempuan kepala keluarga yang hidup didaerah-daerah konflik dan desa-desa miskin. Selain itu juga, penandatangan Konvensi Internasional tentang Perlindungan buruh migran juga menjadi terobosan yang dicatat oleh Komnas Perempuan.


Dalam konsepsi KUHP tidak mengenal adanya istilah KDRT. Pengertian ini penting untuk dikemukakan mengingat ideologi harmonisasi keluarga yang dianut masyarakat selama ini tidak menganggap serius masalah itu dan dianggap persoalan privat. Sementara UU No 23 Tahun 2004 secara tegas hadir untuk menentang adanya tindakan KDRT dengan memberi definisi tentang apa yang dikategorikan dengan kekerasan tersebut beserta variannya. Tindak kekerasan suami kepada istri atau sebaliknya, jelas menunjukkan tidak terjadinya hubungan kemitraan sejajar di antara mereka. Begitu juga tindak kekerasan dari orang tua kepada anak atau sebaliknya, menunjukkan betapa fungsi-fungsi keluarga tidak berlangsung optimal. Akar permasalahan dari KDRT, pada dasarnya adalah kekuasaan yang tidak didukung kesadaran akan hak dan kewajiban antara suami dan istri, antara orang tua dengan anak, maupun antara anggota rumah tangga lainnya. Hal ini pada gilirannya memungkinkan mendomplengnya kekerasan dalam dominasi kekuasaan pada seseorang. Adanya fakta sosial bahwa kekerasan yang umumnya dilakukan laki-laki, sejalan dengan nilai yang berakar dalam masyarakat. Hal itu juga menunjukkan masih sangat kuat nilai patriarki di masyarakat, serta belum kuatnya kualitas kaum perempuan dalam pandangan serta tindakan social.


Menguatnya upaya untuk penghapusan kekerasan terhadap perempuan, melalui pendekatan struktural memang harus tetap dilakukan, agar kebijakan-kebijakan publik bisa menjadi lebih responsif terhadap kondisi dan posisi perempuan. Setidaknya, gerakan ini berangkat dari nalar, kekerasan terhadap perempuan, bukanlah soal yang ditimbulkan oleh unsur individual, melainkan bersifat sistemik dan struktural. Berbarengan dengan itu, tampaknya menjadi sangat strategis, jika mulai dikembangkan strategi media untuk membangun kesadaran publik berkaitan dengan peluasan pemahaman, dampak, dan konsekuensi sosial yang harus diterima tidak saja oleh perempuan dan anak perempuan, melainkan juga oleh seluruh umat manusia. Iklan Layanan Masyarakat (ILM) melalui televisi, seperti yang dilakukan oleh Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan, mungkin bisa diterima sebagai salah satu strategi kampanye media. Tetapi karena gagasan yang mendukungnya masih ekslusif dampak bagi perempuan, sehingga tidak saja tampak menjadi berlebihan, melainkan juga menjadi kurang konkrit pesan yang disampaikan. Atau juga beberapa film dengan format drama mengenai kekerasan terhadap perempuan, juga menghasilkan efek minimalis, karena dipersandingkan dengan tayangan-tayangan sinetron yang juga menunjukkan adegan-adegan kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan. 


Secara umum bias dikatakan ada tiga pekerjaan rumah yang perlu terus dilakukan oleh semua pihak yang terkait dengan pelaksanaan UU PKDRT ini. Pertama, memastikan di lingkungan masing-masing bahwa UU PKDRT ini bisa diterapkan dan siapapun yang menjadi korban bisa mengajukan sampai tingkat pengadilan. Kedua, UU PKDRT ini berharap menjadi acuan bagi aparat pemerintah daerah untuk selanjutnya dalam membuat kebijakan-kebijakan ditingkatan daerah yang bertujuan untuk melindungi perempuan. Menurut Kamala, hal ini penting karena dalam banyak kasus, kebijakan di tingkatan daerah, justru banyak peraturan daerah yang mengatur hak perempuan atas tubuhnya dan Ketiga, menjadikan UU PKDRT ini tidak saja menjadi produk hukum, tetapi UU PKDRT ini juga menjadi wahana diskusi dan pembicaraan mengenai hak-hak perempuan. 


Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) setidaknya telah mendorong terkuaknya kasus-kasus kekerasan yang menimpa perempuan. Sosialisasi yang selama ini melalui media massa, cetak atau elektronik dan sejumlah sosialisasi yang dilakukan sejumlah LSM dan masyarakat telah memberikan semangat baru bagi perempuan untuk mengungkapkan kasus kekerasan yang dialami, meskipun jumlahnya tidak terlalu banyak. Namun demikian, keberanian yang tinggi dari perempuan untuk mengungkap kasus kekerasan yang dialami tidak dimbangi oleh penanganan kasus oleh para penegak hukum secara lebih baik. Aparat penegak hukum belum banyak yang menggunakan UU ini untuk memproses kasus. Akibatnya banyak kasus akhirnya tidak berlanjut karena ketidakpahaman aparat. IP mendorong pemda agar mengeluarkan peraturan daerah (perda) tentang layanan terpadu bagi perempuan dan anak korban akibat kekerasan. Diharapkan, dengan perda tersebut akan terbentuk koordinasi antarberbagai pihak. Seperti dinas kesehatan, biro perempuan, dinas sosial, atau aparat penegak hukum. Dengan demikian, dapat memperjelas siapa yang menyediakan rumah aman, tenaga kesehatan, puskesmas mana dan rumah sakit mana yang dapat membuat visum dan rekam medis, dan sebagainya.


Hambatan struktural dan tata nilai sosial korban KDRT untuk mengakses perlindungan hukum bukan fenomena baru. Meneg Pemberdayaan Perempuan mengatakan 11,4 persen dari 217 juta penduduk Indonesia atau 24 juta terutama di pedesaan pernah mengalami kekerasan dan terbesar adalah KDRT. Kendala untuk mengakses perlindungan hukum bagi korban, selain aspek struktural lebih banyak disebabkan faktor kungkungan tata nilai atau adat dan perlakuan feodal masyarakat. Dalam budaya patriarki, perempuan korban KDRT menghadapi kendala yang berlapis untuk mengakses hukum, seperti adanya nilai sosial masyarakat yang menganggap KDRT adalah urusan suami-istri, sehingga campur tangan pihak luar dianggap tidak wajar untuk diungkap. Melaporkan kejadian KDRT juga dapat berarti membuka aib keluarga. serta, adanya ketergantungan dalam aspek ekonomi. Dan yang terakhir ialah mengenai respons aparat penegak hukum dalam menangani pengaduan KDRT kurang serius.

Secara struktural belum adanya perangkat hukum yang secara khusus dijadikan rujukan hukum . Selama ini dalam menyelesaikan kasus KDRT, instrumen yang dipakai adalah UU Perkawinan, yang tidak sesuai dan tidak akomodatif, karena secara tegas tidak mampu mendefinisikan KDRT sebagai sebuah kejahatan kriminal tertentu oleh undang-undang.


Diberlakukannya UU Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU KDRT) dikhawatirkan justru akan menimbulkan fenomena baru. Misalnya, makin maraknya pengaduan istri di kepolisian, meningkatnya keretakan rumah tangga dan gugat cerai dari istri kepada suami sebagai alternatif solusi yang mudah dipilih dalam mengatasi KDRT. Perlu adanya pemahaman yang utuh dari masyarakat, aparat hukum, serta berbagai pihak terkait tentang hakikat dan kewajiban dari UU PKDRT. Hal ini memang masih jadi tantangan yang harus diwujudkan. Hal itu bisa dicapai melalui sosialiasi pemahaman yang benar, utuh, dan mendalam mengenai hakikat, tujuan dan substansi UU PKDRT. Karena pada hakikatnya permasalahan penghapusan kekerasan dalam rumah tangga (PKDRT) merupakan rangkaian persoalan dari keadilan dan kesetaraan Jender, tidak mulusnya aktualisasi fungsi keluarga dalam keluarga. Akibatnya terjadi hambatan dalam mewujudkan keluarga sejahtera dan sakinah. Selain itu, kendala budaya masih sangat besar bagi para perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga sehingga banyak perkara ditarik kembali setelah mulai diproses polisi. Akibatnya, persentase perkara yang sampai ke persidangan sangat kecil dibandingkan dengan jumlah kasus kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi di masyarakat.


Perbedaan persepsi antar aparat hukum terjadi dalam hal bentuk-bentuk kekerasan serta elemennya, cakupan istilah ‘rumah tangga’, peran dan kualifikasi pendamping korban, dan pengelolaan dana denda yang harus dibayarkan pelaku. Komnas Perempuan mengakui ada niat baik dari aparat penegak hukum untuk mengimplementasikan Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT). Tetapi dalam praktek, ada perbedaan pemahaman. Akibat perbedaan persepsi itu, banyak kasus KDRT yang tidak sampai ke pengadilan. Perbedaan persepsi antar penegak hukum sendiri menghambat penerapan UU PKDRT di masyarakat.


Adapun perbedaan pemahaman itu terletak pada pilihan apakah mau menerapkan UU PKDRT atau KUHP dan KUHAP. Pilihan itu plus minusnya, tergantung dari sudut pandang aparat hukum. Dari sisi pembuktian misalnya, UU PKDRT lebih gampang dibanding KUHAP. Bagaimana tidak, asas ullus testis nullus testis (satu saksi bukan saksi) sudah diterobos oleh UU ini. Tetapi dari sisi pengalaman, polisi dan jaksa tentu lebih menguasai aturan KUHP dan KUHAP.

Data lain yang dihimpun Komnas menunjukkan dari 675 laporan yang tercatat pada Polda seluruh Indonesia sepanjang tahun 2005, lebih banyak yang tidak dibawa ke proses hukum selanjutnya. Dengan kata lain, lebih banyak kasus yang diselesaikan secara damai. Sementara, sepanjang tahun 2004 ada sekitar 143 kasus yang laporannya ditarik kembali oleh korban.

No comments:

Post a Comment

Post Top Ad

Responsive Ads Here