Sebenarnya apa dan bagaimana PKDRT itu ?
Sebagaimana luas diketahui, Kerangka Aksi Deklarasi Beijing
tahun 1995 memandatkan upaya yang sungguh-sungguh untuk melakukan penghapusan
kekerasan terhadap perempuan bagi negara-negara yang terlibat dalam
penandatanganan deklarasi. Pada kenyataannya, meski sudah melampaui waktu 12
(dua belas) tahun, kita masih melihat perkembangan yang kurang menggembirakan
dalam upaya-upaya yang diharapkan ini. Bagi Indonesia, meski sudah
memberlakukan UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga (UU PKDRT), masih terdapat banyak kelemahan yang harus terus dibenahi.
Tidak saja menyangkut isi dari kebijakan ini, melainkan juga perangkat
penegaknya masih dihadapkan pada berbagai kendala serius, misalnya, keengganan
jaksa dan hakim untuk menggunakan UU PKDRT dalam menangani kasus-kasus
kekerasan dalam rumah tangga dalam bentuk kekerasan fisik. Karena itu, masih
sangat jauh dari harapan penggunaan UU ini untuk menyentuh pada kasus-kasus
kekerasan psikis, seksual dan ekonomi sebagaimana dimandatkan oleh UU PKDRT.
Dalam pengertian yang lain, masih cukup tajam gap antara UU PKDRT sebagai
gagasan ideal dan perangkat implementasinya sehingga bisa menjadi operasional.
Persoalan lain yang harus mendapatkan perhatian publik,
adalah upaya menjadikan isu kekerasan terhadap perempuan agar menjadi lebih
inklusif. Dalam pengertian, melakukan berbagai aksi intelektual untuk membangun
keyakinan, kekerasan terhadap perempuan tidak hanya mengakibatkan kesakitan
dalam diri perempuan, melainkan juga melukai rasa keadilan dan kemanusiaan.
Selain juga menjadi akar dari berbagai persoalan yang dihadapi perempuan dalam
kehidupan sosialnya. Misalnya, sudah saatnya membangun sebuah kerangka teoritis
dan praxis, bukan dipahami sebagai praktis, bagaimana kekerasan terhadap
perempuan juga mengakibatkan dan merupakan konsekuensi dari pewabahan HIV/AIDS
di kalangan perempuan dan anak perempuan. Belum lagi akibat lain yang
ditimbulkan, seperti kemiskinan, keterbelakangan, dan ketiadaan ruang bagi
perempuan dan anak perempuan untuk mengaktualisasikan diri. Kehendak UNIFEM
untuk mengkaitkan antara kekerasan terhadap perempuan dengan penularan
HIV/AIDS, merupakan langkah menarik untuk mendapatkan perhatian bagi para
aktivis dalam kedua isu yang seringkali hanya berjalan bersejajaran, tanpa
keterkaitan satu dengan yang lainnya.
Isu penindasan terhadap wanita terus menerus menjadi
perbincangan hangat. Salah satunya adalah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Perjuangan penghapusan KDRT nyaring disuarakan organisasi, kelompok atau bahkan
negara yang meratifikasi konvensi mengenai penghapusan segala bentuk
diskriminasi terhadap perempuan (Convention on the Elimination of All Form of
Discrimination/CEDAW) melalui Undang-undang No 7 tahun 1984. Juga berdasar
Deklarasi Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan yang dilahirkan PBB tanggal
20 Desember 1993 dan telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia. Bahkan di
Indonesia telah disahkan Undang-undang No 23 Tahun 2004 tentang ‘Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga’.
‘Perjuangan’ penghapusan KDRT berangkat dari fakta banyaknya
kasus KDRT yang terjadi dengan korban mayoritas perempuan dan anak-anak. Hal
ini berdasar sejumlah temuan Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan
(Komnas Perempuan) dari berbagai organisasi penyedia layanan korban kekerasan.
Di Provinsi Banten misalnya, hingga pertengahan tahun 2004 terdapat 5.426
perempuan yang dilaporkan menjadi korban tindak kekerasan (KTK). 90 persen
diantaranya menjadi korban kekerasan karena berkerja sebagai Tenaga Kerja
Wanita (TKW) di luar negeri.
Dari semua kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan yang
ditangani, lebih dari 70 % adalah kasus kekerasan dalam rumah tangga. Kekerasan
dalam pengertian ini tidak hanya kekerasan fisik saja tetapi kekerasan psikis
dan ekonomi/penelantaran rumah tangga. Dari kasus kasus kekerasan hanya 38 %
yang diproses secara hukum serta dari 60 kasus pada tahun 2005 hanya 23 kasus
yang diproses secara hukum
Dalam pengertian umum maupun khusus, gender berarti keadaan
di mana individu yang lahir secara biologis, sebagai laki-laki dan wanita
memperoleh pencirian sosial sebagai laki-laki dan wanita melalui maskulinitas
dan femininitas yang sering didukung oleh nilai atau sistem simbol masyarakat
bersangkutan. Jadi, perbedaan yang terjadi bukan semata-mata disebabkan karena
perbedaan biologis. Dalam kondisi adanya perbedaan itu, terlebih lagi dalam
struktur subordinasi, maka acapakali pihak yang tersubordinasi memperoleh
perlakuan yang kurang yang tidak seimbang dan malahan bernilai kurang baik.
Alice Schlegel, menggunakan istilah gender meaning untuk
menyebutkan ideologi gender dengan menyatakan “wanita dan laki-laki masing-masing
dipersepsikan, dinilai, dan diharapkan untuk bertingkah laku”. Ia kemudian
membedakan antara pengertian umum, yaitu wanita dan laki-laki didefinisikan
dalam arti yang abstrak, berdasarkan ciri-ciri khusus yang diberikan kepada
mereka atas dasar jenis kelamin. Undang-Undang PKDRT menyebutkan bahwa
Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang
terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan
secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk
ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan
secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga (Pasal 1 ayat 1).
Pengertian KDRT dalam UU No 23 Tahun 2004 sangat luas dan
terperinci. Bagaimana cara kekerasan itu dilakukan, jenis kekerasan dan akibat
yang ditimbulkan. Disamping itu ukuran waktu dari dampak yang ditimbulkan
akibat kekerasan juga dikategorikan untuk menentukan bobot
pelanggaran/kejahatan. UU PKDRT ini merupakan terobosan hukum. Ada beberapa
poin substantif dalam UU ini yang menunjukkan sebuah progresifitas hukum
Indonesia yaitu dalam UU PKDRT ada semacam penegasan bahwa kekerasan dalam
rumah tangga merupakan bentuk kejahatan terhadap hak asasi manusia. UU PKDRT
juga mengakui adanya bentuk-bentuk kekerasan seperti fisik, psikis, seksual dan
penelantaran ekonomi. Dalam UU PKDRT tersebut, tidak hanya negara yang
mempunyai tanggungjawab menghapus kekerasan dalam rumah tangga, tetapi
masyarakat juga berkewajiban untuk melindungi korban. Satu hal yang juga
dianggap terobosan hukum adalah masalah pembuktian yang mendasarkan pada
kesaksian korban serta adanya perintah perlindungan korban. meskipun UU PKDRT
ini menjadi produk hukum yang menggembirakan, namun dalam pelaksanaanya akan
menghadapi sejumlah tantangan khususnya dalam membangun pola kesadaran akan
eksistensi masyarakat sebagai subyek hukum, karena sebagian besar masyarakat
kita masih setia pada pola pikir yang konvensional. Pola pikir yang
konvensional tersebut adalah cara berfikir yang melihat ranah rumah tangga
sebagai wilayah otoritarian privat, sehingga hukum publik dianggap tidak bisa
turut campur terhadap apapun yang terjadi di dalamnya. Selain pola kesadaran
berfikir, hambatan lain yang akan dihadapi adalah kurangnya sosialisasi
substansi UU PKDRT tersebut di kalangan para aparat penegak hukum. Sudah lazim
dialami kesulitan-kesulitan dalam penggunaan suatu produk Undang-undang yang
disebabkan ketidaktahuan aparat akan UU tersebut ditemukan kasus kekerasan terhadap istri masih termasuk
kasus yang tertinggi. Ada 60% lebih kasus serupa yang masuk ke Institut
Perempuan (IP). Hal itu sangat sesuai dengan lahirnya UU PKDRT yang mulai
diberlakukan pemerintah sejak 22 September 2004. Dari semua kasus itu, umumnya
lebih sebagai bentuk kekerasan psikologis suami terhadap istri. Seperti suami
mempersulit permintaan cerai dari istri, sampai istri yang mengadvokasi suami
ke kantor suami akibat semua gaji suaminya tidak lagi diberikan ke istrinya.
Sebelum ada UU kita tidak bisa memproses kasus-kasus tersebut. Tetapi setelah
ada UU PKDRT, kita akan dapat menyelesaikannya sampai ke tingkat pemberlakuan
hukum. Karena UU PKDRT sudah mencakup kekerasan fisik, psikis, seksual, dan
penelantaran rumah tangga.
Naiknya angka KDRT tersebut menurut penulis merupakan
sebagai akibat adanya pemberlakuan dari UU PKDRT. Hal ini menimbulkan keyakinan
pada para korban bahwa ada perangkat hukum yang melindungi, bahwa apa yang
terjadi merupakan tindakan kriminal dan ada sanksi hukumnya. Komnas Perempuan
menilai bahwa kecenderungan kekerasan yang dialami perempuan selama 2005 antara
lain perempuan terjebak dalam lingkaran KDRT. Artinya, perempuan yang menjadi
korban KDRT akan cenderung menjadi pelaku kekerasan terhadap anaknya
sendiriSelain tingginya angka kekerasan terhadap perempuan, Komnas Perempuan
juga mencatat sejumlah terobosan yang penting yang dicapai dalam kaitannya
dengan upaya perlindungan perempuan yaitu disahkannya undang-undang penghapusan
kekerasan terhadap perempuan (UU PKDRT) pada akhir 2004 lalu. Menurut Komnas
Perempuan, pengesahan UU Penghapusan KDRT adalah terobosan yang paling penting
bagi upaya perlindungan terhadap perempuan dari tindakan kekerasan yang memang
ruang lingkupnya terbesar dalam rumah tangga. Selain pengesahan UU Penghapusan
KDRT, terobosan lain yang dicatat oleh Komnas Perempuan adalah munculnya
pemikiran progresif tentang perempuan dalam perkawinan melalui naskah tandingan
Kompilasi Hukum Islam yang dilakukan oleh Tim pengarusutamaan gender departemen
agama RI. Komnas Perempuan juga mencatat pada tahun 2004 telah terjadi
pengorganisasian terhadap perempuan kepala keluarga yang hidup didaerah-daerah
konflik dan desa-desa miskin. Selain itu juga, penandatangan Konvensi
Internasional tentang Perlindungan buruh migran juga menjadi terobosan yang
dicatat oleh Komnas Perempuan.
Dalam konsepsi KUHP tidak mengenal adanya istilah KDRT.
Pengertian ini penting untuk dikemukakan mengingat ideologi harmonisasi
keluarga yang dianut masyarakat selama ini tidak menganggap serius masalah itu
dan dianggap persoalan privat. Sementara UU No 23 Tahun 2004 secara tegas hadir
untuk menentang adanya tindakan KDRT dengan memberi definisi tentang apa yang
dikategorikan dengan kekerasan tersebut beserta variannya. Tindak kekerasan
suami kepada istri atau sebaliknya, jelas menunjukkan tidak terjadinya hubungan
kemitraan sejajar di antara mereka. Begitu juga tindak kekerasan dari orang tua
kepada anak atau sebaliknya, menunjukkan betapa fungsi-fungsi keluarga tidak
berlangsung optimal. Akar permasalahan dari KDRT, pada dasarnya adalah
kekuasaan yang tidak didukung kesadaran akan hak dan kewajiban antara suami dan
istri, antara orang tua dengan anak, maupun antara anggota rumah tangga
lainnya. Hal ini pada gilirannya memungkinkan mendomplengnya kekerasan dalam
dominasi kekuasaan pada seseorang. Adanya fakta sosial bahwa kekerasan yang
umumnya dilakukan laki-laki, sejalan dengan nilai yang berakar dalam
masyarakat. Hal itu juga menunjukkan masih sangat kuat nilai patriarki di
masyarakat, serta belum kuatnya kualitas kaum perempuan dalam pandangan serta
tindakan social.
Menguatnya upaya untuk penghapusan kekerasan terhadap
perempuan, melalui pendekatan struktural memang harus tetap dilakukan, agar
kebijakan-kebijakan publik bisa menjadi lebih responsif terhadap kondisi dan
posisi perempuan. Setidaknya, gerakan ini berangkat dari nalar, kekerasan
terhadap perempuan, bukanlah soal yang ditimbulkan oleh unsur individual,
melainkan bersifat sistemik dan struktural. Berbarengan dengan itu, tampaknya
menjadi sangat strategis, jika mulai dikembangkan strategi media untuk
membangun kesadaran publik berkaitan dengan peluasan pemahaman, dampak, dan
konsekuensi sosial yang harus diterima tidak saja oleh perempuan dan anak
perempuan, melainkan juga oleh seluruh umat manusia. Iklan Layanan Masyarakat
(ILM) melalui televisi, seperti yang dilakukan oleh Kementerian Negara
Pemberdayaan Perempuan, mungkin bisa diterima sebagai salah satu strategi
kampanye media. Tetapi karena gagasan yang mendukungnya masih ekslusif dampak bagi
perempuan, sehingga tidak saja tampak menjadi berlebihan, melainkan juga
menjadi kurang konkrit pesan yang disampaikan. Atau juga beberapa film dengan
format drama mengenai kekerasan terhadap perempuan, juga menghasilkan efek
minimalis, karena dipersandingkan dengan tayangan-tayangan sinetron yang juga
menunjukkan adegan-adegan kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan.
Secara umum bias dikatakan ada tiga pekerjaan rumah yang
perlu terus dilakukan oleh semua pihak yang terkait dengan pelaksanaan UU PKDRT
ini. Pertama, memastikan di lingkungan masing-masing bahwa UU PKDRT ini bisa
diterapkan dan siapapun yang menjadi korban bisa mengajukan sampai tingkat
pengadilan. Kedua, UU PKDRT ini berharap menjadi acuan bagi aparat pemerintah
daerah untuk selanjutnya dalam membuat kebijakan-kebijakan ditingkatan daerah
yang bertujuan untuk melindungi perempuan. Menurut Kamala, hal ini penting
karena dalam banyak kasus, kebijakan di tingkatan daerah, justru banyak
peraturan daerah yang mengatur hak perempuan atas tubuhnya dan Ketiga,
menjadikan UU PKDRT ini tidak saja menjadi produk hukum, tetapi UU PKDRT ini
juga menjadi wahana diskusi dan pembicaraan mengenai hak-hak perempuan.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) setidaknya telah mendorong terkuaknya
kasus-kasus kekerasan yang menimpa perempuan. Sosialisasi yang selama ini
melalui media massa, cetak atau elektronik dan sejumlah sosialisasi yang
dilakukan sejumlah LSM dan masyarakat telah memberikan semangat baru bagi
perempuan untuk mengungkapkan kasus kekerasan yang dialami, meskipun jumlahnya
tidak terlalu banyak. Namun demikian, keberanian yang tinggi dari perempuan
untuk mengungkap kasus kekerasan yang dialami tidak dimbangi oleh penanganan
kasus oleh para penegak hukum secara lebih baik. Aparat penegak hukum belum
banyak yang menggunakan UU ini untuk memproses kasus. Akibatnya banyak kasus
akhirnya tidak berlanjut karena ketidakpahaman aparat. IP mendorong pemda agar
mengeluarkan peraturan daerah (perda) tentang layanan terpadu bagi perempuan
dan anak korban akibat kekerasan. Diharapkan, dengan perda tersebut akan
terbentuk koordinasi antarberbagai pihak. Seperti dinas kesehatan, biro
perempuan, dinas sosial, atau aparat penegak hukum. Dengan demikian, dapat
memperjelas siapa yang menyediakan rumah aman, tenaga kesehatan, puskesmas mana
dan rumah sakit mana yang dapat membuat visum dan rekam medis, dan sebagainya.
Hambatan struktural dan tata nilai sosial korban KDRT untuk
mengakses perlindungan hukum bukan fenomena baru. Meneg Pemberdayaan Perempuan
mengatakan 11,4 persen dari 217 juta penduduk Indonesia atau 24 juta terutama
di pedesaan pernah mengalami kekerasan dan terbesar adalah KDRT. Kendala untuk
mengakses perlindungan hukum bagi korban, selain aspek struktural lebih banyak
disebabkan faktor kungkungan tata nilai atau adat dan perlakuan feodal
masyarakat. Dalam budaya patriarki, perempuan korban KDRT menghadapi kendala
yang berlapis untuk mengakses hukum, seperti adanya nilai sosial masyarakat
yang menganggap KDRT adalah urusan suami-istri, sehingga campur tangan pihak
luar dianggap tidak wajar untuk diungkap. Melaporkan kejadian KDRT juga dapat
berarti membuka aib keluarga. serta, adanya ketergantungan dalam aspek ekonomi.
Dan yang terakhir ialah mengenai respons aparat penegak hukum dalam menangani
pengaduan KDRT kurang serius.
Secara struktural belum adanya perangkat hukum yang secara
khusus dijadikan rujukan hukum . Selama ini dalam menyelesaikan kasus KDRT,
instrumen yang dipakai adalah UU Perkawinan, yang tidak sesuai dan tidak
akomodatif, karena secara tegas tidak mampu mendefinisikan KDRT sebagai sebuah
kejahatan kriminal tertentu oleh undang-undang.
Diberlakukannya UU Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU KDRT)
dikhawatirkan justru akan menimbulkan fenomena baru. Misalnya, makin maraknya
pengaduan istri di kepolisian, meningkatnya keretakan rumah tangga dan gugat
cerai dari istri kepada suami sebagai alternatif solusi yang mudah dipilih
dalam mengatasi KDRT. Perlu adanya pemahaman yang utuh dari masyarakat, aparat
hukum, serta berbagai pihak terkait tentang hakikat dan kewajiban dari UU
PKDRT. Hal ini memang masih jadi tantangan yang harus diwujudkan. Hal itu bisa
dicapai melalui sosialiasi pemahaman yang benar, utuh, dan mendalam mengenai
hakikat, tujuan dan substansi UU PKDRT. Karena pada hakikatnya permasalahan
penghapusan kekerasan dalam rumah tangga (PKDRT) merupakan rangkaian persoalan
dari keadilan dan kesetaraan Jender, tidak mulusnya aktualisasi fungsi keluarga
dalam keluarga. Akibatnya terjadi hambatan dalam mewujudkan keluarga sejahtera
dan sakinah. Selain itu, kendala budaya masih sangat besar bagi para perempuan
korban kekerasan dalam rumah tangga sehingga banyak perkara ditarik kembali
setelah mulai diproses polisi. Akibatnya, persentase perkara yang sampai ke
persidangan sangat kecil dibandingkan dengan jumlah kasus kekerasan dalam rumah
tangga yang terjadi di masyarakat.
Perbedaan persepsi antar aparat hukum terjadi dalam hal
bentuk-bentuk kekerasan serta elemennya, cakupan istilah ‘rumah tangga’, peran
dan kualifikasi pendamping korban, dan pengelolaan dana denda yang harus
dibayarkan pelaku. Komnas Perempuan mengakui ada niat baik dari aparat penegak
hukum untuk mengimplementasikan Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT). Tetapi dalam praktek, ada
perbedaan pemahaman. Akibat perbedaan persepsi itu, banyak kasus KDRT yang
tidak sampai ke pengadilan. Perbedaan persepsi antar penegak hukum sendiri
menghambat penerapan UU PKDRT di masyarakat.
Adapun perbedaan pemahaman itu terletak pada pilihan apakah
mau menerapkan UU PKDRT atau KUHP dan KUHAP. Pilihan itu plus minusnya,
tergantung dari sudut pandang aparat hukum. Dari sisi pembuktian misalnya, UU
PKDRT lebih gampang dibanding KUHAP. Bagaimana tidak, asas ullus testis nullus
testis (satu saksi bukan saksi) sudah diterobos oleh UU ini. Tetapi dari sisi
pengalaman, polisi dan jaksa tentu lebih menguasai aturan KUHP dan KUHAP.
No comments:
Post a Comment