ilustrasi politik uang |
Michael Kochin dan Levis Kochin (1996) pernah mengungkapkan, dalam negara demokrasi modern, menawarkan uang kepada individu pemilih untuk mendukung suara mereka adalah salah dan ilegal. Tentu sebagian pihak sepakat dan sebagian lagi “tidak sepakat” dengan hal itu.
Pihak yang sepakat adalah yang terkena dampak pahitnya politik uang, di antaranya calon anggota legislatif (caleg) / pemimpin bersih, pemilih rasional berbasis program, dan para penggiat demokrasi. Sementara itu, yang “tidak sepakat” adalah yang mencicipi manisnya praktik haram itu, setidaknya caleg dan bakal calon pemberi uang yang berhasil meraih kursi di parlemen serta jabatan baik walikota, gubernur atau bahkan presiden dan pemilih yang menerima uang itu.
Jumlah kasus politik uang dari pemilu ke pemilu semakin meningkat. Hal itu mengindikasikan, pelanggaran pidana politik uang yang terjadi selama ini hanya dipantau, dimonitor, dilaporkan, lalu dihukum seadanya. Deretan kegiatan itu pun hanya menjadi aktivitas rutin, belum sampai titik mencegah dan menekan seminimal mungkin.
Lantas, siapa dan/atau apa yang menjadi “kambing hitam” masalah ini? Torsten Persson, Guido Tabellini, dan Francesco Trebbi (2002) berasumsi, aturan tentang pemilihan umum (pemilu) berpengaruh terhadap politik uang. Bagaimana aturan tentang pemilu dibuat seperti pilihan akan ballot structure atau district magnitude, ini dapat mengarahkan ke hasil akhir, apakah menyuburkan politik uang atau sebaliknya.
Masih menyitir Persson dan kawan-kawan, mengubah sistem pemilu dari proporsional—terutama proporsional murni—kepada sistem distrik dapat mendorong berkurangnya kemungkinan politik uang.
Penulis sepakat dengan pendapat di atas. Akan tetapi, penjelasan di tataran sistem tidaklah cukup. Masih ada sejumlah faktor lain yang wajib diperhitungkan.
Pertama, korelasi politik uang dengan korupsi politik. Hal ini bertalian dengan apa yang telah dilakukan seorang caleg (retrospective factor) dan motivasinya ikut kembali berkontestasi dalam pemilu (prospective factor).
Ada terminologi yang sering diungkapkan ketika berbicara kenapa seseorang berkorupsi politik, yaitu “uang beli uang”. Artinya, untuk bisa korupsi lagi harus menang lagi dalam pemilu, mencapainya mesti berkorban ribuan lembar uang.
Kedua, rule of law. Maknanya di sini tentu saja tidak hanya apakah ada aturan tertulis mengenai politik uang beserta sanksinya, tapi juga bagaimana penegak hukum berwibawa menghukum pelaku dan aktor utama politik uang. Partai politik sebagai “rumah” dari para caleg bahkan harus diberikan tanggung jawab dan terkena risiko terdiskualifikasi jika calegnya terbukti bersalah karena berpolitik uang.
Individu-individu di masyarakat harus dipertontonkan bahwa jika dapat dibuktikan menerima uang dari caleg, mereka juga akan terkena dampaknya, berupa dikenakan hukuman penjara berat. Mengapa demikian? Apabila hal ini tidak dilakukan, percuma saja.
Ibarat hukum ekonomi, tidak akan ada penawaran kalau tiada permintaan. Seorang caleg dengan uang berkoper-koper pun “mati kutu” kalau para pemilih takut dipenjara dan menolak tawarannya. Pun sebaliknya, seorang calon pemilih yang menunggu “serangan fajar” akan bertangan hampa kalau tidak ada kelompok pemberi “suap politik” yang datang menghampiri mereka.
Ketiga, peran signifikan dari partai politik. Ada dua peran yang seharusnya diambil partai politik dalam hal ini, yaitu memberikan pendidikan politik kepada masyarakat dan anggotanya untuk say no to money politics, kemudian dibarengi pemberian sanksi pemberhentian kepada anggotanya yang berani berpolitik uang. (AW-PPS WNO)
Diambil dari berbagai sumber.
No comments:
Post a Comment